Senin, 01 September 2008

Nyadran Ke Leluhur

Nyadran adalah kegiatan mengenang para leluhur yang sudah meninggal dengan cara "nyekar" datang langsung ke makam, serta mendoakannya agar segera disatukan dalam kesempurnaan Illahi di alam baka. Dilakukan menjelang bulan poso dimana umat Islam menunaikan ibadat puasa. Biarpun keluarga kami bukan beragama Islam tetapi tetap menjalankan budaya dan kebiasaan ini turun temurun, dan meyakini budaya ini memang budayanya orang Jowo. Dan kebetulan dalam ajaran Agama Katholik, hal ini tidak dilarang. Sebetulnya Agama Katolik mempunyai budaya yang dikususkan untuk "memule" leluhur yang sudah meninggal, yaitu dibulan November. Sehingga kami sekeluarga minimal empat kali berjiarah untuk mengunjungi makam Leluhur yaitu, Sebelum Poso dan menjelang Lebaran, dan Bulan November serta menjelang Natalan. Eyang Hartiyo selalu mengajak anak-anaknya serta cucu-cucunya untuk berziarah, sambil menceritakan leluhur yang dimakamkan disitu. Sehingga kami sebagai generasi penerus bisa mengenang leluhur yang mengukir jiwaraga. Biasa kami ziarah ke makam Ngembat desa Brongkol Ambarawa. Lokasi makam ditengah sawah dan dipinggirnya ada danau Mbalong, dirimbuni dengan pohon beringin. Diatas ada bukit kecil yang dinamakan Njenggolo Manik, dimana sebagian tanah di Njenggolomanik adalah kepunyaan eyang Hartiyo. Leluhur yang dimakamkan disitu adalah: Mbah Ngusman Sastro Taruno (Dimana sekeluarga kita selalu berdoa di mkam ini karena beliau adalah bapak dari Eyang Hartiyo) Elisabet Djasiyam ini adalah ibu dari Eyang Hartiyo Dilanjutkan dengan leluhur dari Ngusman Sastro Taruno yaitu Mbah buyut Soleman Kakung dan Putri, Makam berlokasi sebelah barat makamnya Ngusman Sastro Taruno. Jalur berikutnya adalah eyang dari mbah buyut Soleman Putri, yaitu Mbah Lurah Kaji, yang menjadi lurah di Desa Brongkol sebelum Lurah Tegaron. Ternyata mbah buyut soleman putri itu dilahirkan di daerah Baran Jalan menuju Mbadungan. Bapak ibunya dimakamkan disitu, dan setelah berkeluarga dengan Mbah Buyut Soleman Kakung yang berasal dari Mendut Banyubiru, mendirikan rumah lagi didesa Brongkol, desa dimana Ibunya berasal. Sedangkan makam nenekmoyang yang banyak kami temukan justru dari keluarga mbah putri Elisabet Djasiyam. Yaitu orang tuanya yang biasa dipanggil mbah Joniti yang mempunyai nama kecil Giman. Lokasi mbah buyut Joniti letaknya disebelah selatan makam Mbah kakung Sastro Taruno. Sedangkan Mbah Buyut Putri dimakamkan jauh sebelah timur, pisah dari lokasi keluarga. Tandanya gampang, diatasnya ada tanda Salib, dulu bekas makamnya adik keluarga Pak Broto (Keluarga Broto adalah guru di desa Brongkol, seorang pendatang yang beragama Katolik, mempunyai anak salah satunya L. Noeryono pendiri AKA). Mbah buyut Putri Joniti ini berasal dari Tlogo Jambu, sehingga kami mempunyai leluhur juga yang ada di Tlogo Jambu. Ada cerita menarik, hubungan antara Hartiyo kecil dengan Mbah Buyut Putri, Orangnya sangat penyayang, cantik (Moblong-moblong), dengan kulit putih wajah bulat badan gemuk. Dimana-mana hartiyo kecil selalu di Gendong, dan saat nutu (menumbuk beras), sering Hartiyo kecil berada digendongannya, sehingga ketiduran karena diayun-ayun.

Tidak ada komentar: